yang fana adalah waktu
kita abadi:
memungut detik demi detik,
merangkainya seperti bunga
sampai pada suatu hari
kita lupa untuk apa
tapi, yang fana adalah waktu, bukan?
tanyamu
kita abadi
(yang fana adalah
waktu, perahu kertas, kumpulan sajak)
dalam diriku mengalir sungai panjang,
darah namanya;
dalam diriku menggenang telaga darah,
sukma namanya;
dalam diriku meriak gelombang sukma,
hidup namanya;
dan karena hidup itu indah,
aku menangis sepuas-puasnya
(hujan bulan
juni)
waktu berjalan ke barat di waktu pagi hari
matahari mengikutiku di belakang
aku berjalan mengikuti bayang-bayangku sendiri yang memanjang di depan
aku dan matahari tidak bertengkar
tentang siapa di antara kami yang telah menciptakan bayang-bayang
aku dan bayang-bayang tidak bertengkar
tentang siapa di antara kami yang harus
berjalan di depan
(berjalan ke barat waktu pagi hari)
akulah si telaga:
berlayarlah di atasnya;
berlayarlah
menyibakkan riak-riak kecil
yang menggerakkan
bunga-bunga padma;
berlayarlah sambil
memandang harumnya cahaya;
sesampai di
seberang sana, tinggalkan begitu saja
perahumu biar aku
yang menjaganya
(akulah si telaga, perahu kertas, kumpulan sajak)
aku ingin
mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang
tak sempat diucapkan
kayu kepada api
yang menjadikannya abu
aku ingin
mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang
tak sempat disampaikan
awan kepada hujan
yang menjadikannya tiada
I want to love you
simply,
in words not
spoken:
tinder to the flame
which transforms it to ash
I want to love you
simply,
in signs not
expressed:
clouds to the rain
which make them evanescent
(aku ingin, I want)
hatiku selembar
daun melayang jatuh di rumput;
nanti dulu, biarkan
aku sejenak terbaring di sini;
ada yang masih
ingin kupandang,
yang selama ini
senantiasa luput;
sesaat adalah abadi
sebelum kausapu
tamanmu setiap pagi
(hatiku selembar daun, perahu kertas, kumpulan sajak)
ia duduk di atas
batu dan melempar-lemparkan kerikil ke tengah kali
ia gerak-gerakkan
kaki-kakinya di air sehingga memercik ke sana ke mari
ia pandang
sekeliling: matahari yang hilang-timbul
di sela goyang
daun-daunan,
jalan setapak yang
mendaki tebing kali, beberapa ekor capung
ia ingin yakin
bahwa benar-benar berada di sini
(di atas batu, perahu kertas, kumpulan sajak)
the day will come
when my body no
longer exists
but in the lines of
this poem
I will never let
you be alone
the day will come
when my voice is no
longer heard
but within the
words of this poem
I will continue to
watch over you
the day will come
when my dreams are
no longer known
but in the spaces
found in the letters of this poem
I will never tired
of looking for you
(the day will come)
selamat
pagi, Indonesia,
seekor burung
mungil mengangguk
dan menyanyi kecil
buatmu
aku pun sudah
selesai,
tinggal mengenakan
sepatu,
dan kemudian pergi
untuk mewujudkan
setiaku padamu
dalam kerja yang
sederhana …
(penggalan “selamat pagi Indonesia”)
mawar itu tersirap
dan hampir berkata jangan
ketika pemilik
taman memetiknya hari ini;
tak ada alasan
kenapa ia ingin berkata jangan
sebab toh wanita
itu tak mengenal isaratnya
tak ada alasan
untuk memahami
kenapa wanita yang
selama ini rajin menyiraminya
dan selalu
menatapnya dengan pandangan cinta itu
kini wajahnya
anggun dan dingin,
menanggalkan
kelopaknya selembar demi selembar
dan membiarkannya
berjatuhan
menjelma
pendar-pendar di permukaan kolam
(bunga 2, perahu kertas, kumpulan sajak)
hanyutkan, sungai,
beribu kata, lagu,
dan tanda mata
yang tak sempat
dialamatkan kepada
dunia
(mengalirlah sungai)
mencintai angin
harus menjadi siut
mencintai air harus menjadi ricik
mencintai gunung harus menjadi terjal
mencintai api harus menjadi jilat
mencintai cakrawala harus menebas jarak
mencintaiMu harus menjadi aku
mencintai air harus menjadi ricik
mencintai gunung harus menjadi terjal
mencintai api harus menjadi jilat
mencintai cakrawala harus menebas jarak
mencintaiMu harus menjadi aku
(sajak kecil tentang cinta)
ketika kita saling
berbisik
di luar semakin sengit malam hari
memadamkan bekas-bekas telapak kaki
di luar semakin sengit malam hari
memadamkan bekas-bekas telapak kaki
menyekap sisa-sisa
unggun api sebelum fajar
ada yang masih
bersikeras abadi
(sementara kita saling berbisik)
Dalam doaku subuh
ini kau menjelma langit yang semalaman tak memejamkan mata, yang meluas bening
siap menerima cahaya pertama, yang melengkung hening karena akan menerima
suara-suara
Ketika matahari
mengambang tenang di atas kepala, dalam doaku kau menjelma pucuk-pucuk cemara
yang hijau senantiasa, yang tak henti-hentinya mengajukan pertanyaan muskil
kepada angin yang mendesau entah dari mana
Dalam doaku sore
ini kau menjelma seekor burung gereja yang mengibas-ibaskan bulunya dalam
gerimis, yang hinggap di ranting dan menggugurkan bulu-bulu bunga jambu, yang
tiba-tiba gelisah dan terbang lalu hinggap di dahan mangga itu
Maghrib ini dalam
doaku kau menjelma angin yang turun sangat perlahan dari nun di sana,
bersijingkat di jalan dan menyentuh-nyentuhkan pipi dan bibirnya
di rambut, dahi,
dan bulu-bulu mataku
Dalam doa malamku
kau menjelma denyut jantungku, yang dengan sabar bersitahan terhadap rasa sakit
yang entah batasnya, yang setia mengusut rahasia
demi rahasia, yang
tak putus-putusnya bernyanyi bagi kehidupanku
Aku mencintaimu …
itu sebabnya aku takkan pernah selesai mendoakan keselamatanmu
(dalam doaku 1989)